TRADISI SESUDAH KELAHIRAN BAYI
Oleh
Sumarno Hp
Ketika penulis mengucapkan
selamat kepada seorang teman atas kelahiran cucunya yang pertama dengan
mengatakan, “ Selamat atas kelahiran cucu.
Wah, pasti seru, anak-anak akan gembira memanggil kawan-kawan sekampung, ‘ bancakan, bancakan…’ Teman itu
segera memotong, “ Belum, siang ini hanya mau brokohan. Baru saja bayinya lahir
pagi tadi di rumah bersalin.” Berdasarkan
pengamatan penulis dewasa ini acara brokohan sudah jarang dilakukan di kota
maupun di desa karena sedikit yang tahu tentang brokohan atau karena alasan
lain.
Acara brokohan tidak banyak disinggung dalam karangan atau buku-buku pustaka.
Dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna
karya KPH Cakraningrat hanya dimuat satu
alinea kecil tentang brokohan (hal..40). Ini tidak berarti brokohan tidak
penting karena tidak menjadi ritus dalam tradisi Jawa. Bagi penulis nilai-nilai tradisi yang baik perlu digali
dan dilestarikan. Penerapannya tentu disesuaikan dengan perubahan zaman. Penulis mencoba menggali lebih banyak melalui studi pustaka dan dengan menemui dua orang
informan yang tahu tentang brokohan yakni Ibu Feri dari Prambanan dan ibu Siti
Rahayu (63 th) asal Yogyakarta yang kini tinggal di Desa Bacem Langenharjo,
yang sering diminta orang untuk memasak menyiapkan brokohan, selapanan, dsb.
Tujuan Brokohan
Istilah brokohan adalah kata
Jawa maka tidak ditemukan dalam kamus
Bahasa Indonesia misalnya kamus WJS Purwadarminta (Jakarta BP 1951) Kara
brokohan pun tidak ada hubungannya dengan kata barokah yang menjadi berkat dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Bahasa Jawa (Jawa-Jawa) karya S.A.
Mangunsuwito (Cet 1 Bandung, YRama Widya
2002) terdapat kata brokohan yang berarti
slametan bayi sing entas lahir Menurut keterangan informan tujuan brokohan adalah menyatakan syukur kepada
Sang Pencipta atas keselamatan ibu dan bayi yang baru lahir.
Zaman sekarang persalinan
ditangani oleh bidan atau dokter di rumah bersalin. Kematian ibu dan bayi dalam
persalinan sekarang sangat kecil. Tetapi zaman dahulu persalinan di desa hanya dibantu
oleh seorang dukun beranak yang tidak punya sertifikat. Angka kematian ibu dan
bayi lebih banyak. Orang Jawa berkata bahwa melahirkan itu toh nyawa, artinya nyawa taruhannya. Seluruh keluarga akan sangat gembira
mendengar kelahiran bayi.yang lancer dan selamat. Maka tidak lama kemudian, hari itu juga,
keluarga si bayi menyatakan syukur kepada Sang Pencipta dengan mengadakan brokohan.
Makanan Brokohan
Dalam Kitab Primbon hanya dituliskan: “Selamatan brokohan setelah bayi
lahir adalah: telur mentah, sejumlah neptu hari dan pekan (pasaran) si bayi,
gula merah dawet (cendol) dan nasi yang diletakkan di atas nyiru dengan lauk
daging jerohan dan mata serta pecel ayam dan sayur menir. Menurut informan
penulis sebenarnya ada variasi-variasi berdasarkan tempat dalam soal makanan
yang disiapkan. Telur mentah diganti telur goreng. Saat kelahiran, pagi, siang
sore, malam, hari sapta wara dan pancawara, misalnya sabtu legi jam 06.00 tanggal
bulan tahun Masehi dan Tahun Jawa perlu dicatat. Gula merah dan cendol boleh
diganti dengan minuman lain. Sedangkan nasi dan lauk dapat dibuat bervariasi
sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga.
Hidangan brokohan menurut
informan adalah nasi ambeng yakni nasi
putih dibentuk dengan waskon (bukan seperti tumpeng) ditaruh dengan alas daun pisang pada tempat datar seperti tampah, nampan, tambir, nyiru, dsb. Lauknya berupa sambal
goreng tempe, kacang panjang yang dipotong-potong, krecek/rambak, tempe goreng, thontho, yakni
lauk yang terbuat dari tepung beras dan kelapa muda yang diparut di bumbui
brambang bawang tumbar dilumatkan dibentuk butiran-butiran sebesar kelereng
yang digoreng, ditambah dengan rempeyek kacang, rempeyek kedelai putih ikan
asin, krupuk merah, telur dadar.
Orang yang hadir dalam acara brokohan
Orang tahu bahwa soal
kehamilan dan kelahiran pertama-tama adalah persoalan kaum ibu. Maka yang
menyiapkan dan yang hadir di situ terutama adalah kaum ibu. Di sini tidak
dipakai istilah bancakan yang
dialamatkan bagi anak-anak dan orang dewasa seperti pada sepasaran (satu pekan) atau selapanan
atau 35 hari sesudah kelahiran. Pada
acara makan brokohan ini biasa diadakan doa yang dipimpin oleh dukun atau seorang
ibu tetangga keluarga. Kemudian nasi dan lauk itu dibagi-bagi ditaruh dalam bungkus
daun untuk dibawa pulang ibu-ibu yang
hadir.
Pada malam harinya kaum laki-laki datang
bertandang ke rumah memberi salam kepada ayah si bayi. Mereka duduk santai di
tikar sambil minum dan makan snack atau kudapan yang disediakan. Nama bayi
sebenarnya sudah tersedia hanya belum diumumkan. Nama itu diperoleh berdasarkan
pedoman penamaan yang sudah lazim dipakai orang di masarakat. Setelah itu pada
acara sepasaran nama bayi yang dipilih dengan makna dan harapan yang baik diumumkan kepada
keluarga dan para tetangga.
Tembang Dhandhanggula
Tembang dhandhanggula sudah
banyak dikenal orang, Daripada hanya sekedar bercanda ria, orang dapat membawakan
tembang pada saat tetangga bertemu dan berjaga di rumah keluarga bayi. Orang
boleh membawakan tembang dengan berbagai
gaya. Kita pun dapat menciptakan tembang itu sendiri. Diberikan contoh di sini sebuah
dhandhanggula dari penulis:sebagai pembuka pertemuan malam sehabis kelahiran
bayi.
Dhandhanggula Purwaning Atur
Purwaning atur panyuwun mami,
Awit Gusti wus paring nugraha
Putra jalu (westri)
ciniptakke
Lumantar rama-ibu
Sampun lahir lancar lestari
Kulawarga sung sedya
Atur puji syukur
Nyuwun berkah lan pandonga
Dhateng Gusti saha para
rawuh sami
Mrih wilujeng ing gesang
Tembang di atas dapat diterangkan demikian sebagai
pembuka acara paska kelahiran anak kami. Tuhan Allah telah memberikan
anugerah-Nya, anak Laki-laki (perempuan) kepada kami. Sudah lahir dengan selamat.
Baik bayi dan ibu sehat. Keluwarga ingin mengucapkan puji syukur. Mohon berkah
Tuhan dan doa kepada para tamu sekalian,
semoga selamat dan sejahtera dalam kehidupan.
Berikut ini adalah
dhandhanggula oleh KPH Cakraningrat. Dengan keterangan dari penulis.
Dhandhanggula
(1)
Ana kidung akadang premati,
Among tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane
Kakang kawah puniku
Kang rumeksa ing awak mami
Anekakaken sedya
Pan kuwasanipun
Adi ari-ari ika
Kang mayungi ing laku kuwasaneki
Anggenakken
pangarah
(2)
Ponang getih ing rahina wengi
Angrowangi Allah kang kuwasa
Andadekaken kersane
Puser kuwasanipun
Nguyu-uyu sembawa mami
Nuruti ing panedha,
Kuwasanireki
Jangkep kadangipun papat
Kalimane pancer wus dadi sawiji
Nunggal sawujudingwang
(3)
Yeku kadangingsun kang umijil
Saking margatna sareng samya
Sadina awor enggone
Sekawan kadangingsun
Ingkang ora umijil saking
Margatna punika
Kumpule lan ingsun
Dadya makdumsarpin sira
Wewayangan ing dad
reke dadya kanti
Saparan dhatan pisah
Oleh KPH Cakraningrat
|
Uraian
(1)
Adalah tembang tentang saudara yang harus dipelihara
dengan baik, hanya tumbuh hidup dalam
kekuatanya, mengadakan apa yang
dikehendaki. Saudara tua kawah (air yang keluar sebelum anak lahir), yang memelihara
di badan kita, mendatangkan kehendak., Adapun ari-ari adalah saudara muda (adik) yang melindungi dalam
laku kelahiran ini, sebagai pengarah
(2)
Anak darah di siang dan malam,
menemani kerja Allah yang berkuasa, menjadikan
kehendaknya,
Puser yang punya kuasa
melaraskan perasaanku,
memenuhi permintaan menurut kuasanya ini, lengkap dengan saudaranya
empat, yang kelima penjuru sudah
menjadi satu, menyatu dalam diri pribadi.
(3)
Ya itulah saudaraku yang keluar
dari dalam rahim bersama-sama,
sehari berkumpul
campur tempatnya
empat saudaraku
yang tidak keluar dari rahim itu. bertemunya dengan diriku
Jadilah dia
makdumsarpin
Bayangan dalam zat
ini menjadi pegangan,
kemana saja tidak berpisah.
|
Barangkali oleh karena
berbagai kesibukan dan individualisme dalam kehidupan masyarakat modern yang
semakin kuat, pertemuan malam seperti yang dulu terjadi di masyarakat pedesaan,
sekarang tidak terjadi terutama di kota-kota. Namun kalau memungkinkan brokohan
ini pun tetap baik juga untuk dilakukan yang disesuaikan dengan keadaan
setenpat.
Solo Baru, 5 Mei 2015
0 comments:
Posting Komentar