Sumarno HP

Senin, 04 Mei 2015

BROKOHAN

TRADISI SESUDAH KELAHIRAN BAYI
Oleh  Sumarno Hp

Ketika penulis mengucapkan selamat kepada seorang teman atas kelahiran cucunya yang pertama dengan mengatakan, “ Selamat atas kelahiran cucu.  Wah, pasti seru, anak-anak akan gembira memanggil kawan-kawan  sekampung, ‘ bancakan, bancakan…’ Teman itu segera memotong, “ Belum, siang ini hanya mau brokohan. Baru saja bayinya  lahir pagi tadi di rumah bersalin.”  Berdasarkan pengamatan penulis dewasa ini acara brokohan sudah jarang dilakukan di kota maupun di desa karena sedikit yang tahu tentang brokohan atau karena alasan lain.
Acara brokohan tidak banyak disinggung dalam karangan atau buku-buku pustaka. Dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna  karya KPH Cakraningrat hanya dimuat satu alinea kecil tentang brokohan (hal..40). Ini tidak berarti brokohan tidak penting karena tidak menjadi ritus dalam tradisi Jawa. Bagi penulis  nilai-nilai tradisi yang baik perlu digali dan dilestarikan. Penerapannya tentu disesuaikan dengan perubahan zaman. Penulis mencoba menggali lebih banyak  melalui studi pustaka dan dengan menemui dua orang informan yang tahu tentang brokohan yakni Ibu Feri dari Prambanan dan ibu Siti Rahayu (63 th) asal Yogyakarta yang kini tinggal di Desa Bacem Langenharjo, yang sering diminta orang untuk memasak menyiapkan  brokohan, selapanan, dsb.

Tujuan Brokohan
Istilah brokohan adalah kata Jawa maka  tidak ditemukan dalam kamus Bahasa Indonesia misalnya kamus WJS Purwadarminta (Jakarta BP 1951) Kara brokohan pun tidak ada hubungannya dengan kata barokah yang menjadi berkat dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Bahasa Jawa (Jawa-Jawa) karya S.A. Mangunsuwito  (Cet 1 Bandung, YRama Widya 2002) terdapat kata brokohan yang berarti slametan bayi sing entas lahir  Menurut keterangan informan tujuan brokohan adalah menyatakan syukur kepada Sang Pencipta atas keselamatan ibu dan bayi yang baru lahir.
Zaman sekarang persalinan ditangani oleh bidan atau dokter di rumah bersalin. Kematian ibu dan bayi dalam persalinan sekarang sangat kecil. Tetapi zaman dahulu persalinan di desa hanya dibantu oleh seorang dukun beranak yang tidak punya sertifikat. Angka kematian ibu dan bayi lebih banyak. Orang Jawa berkata bahwa melahirkan itu toh nyawa, artinya  nyawa taruhannya.  Seluruh keluarga akan sangat gembira mendengar kelahiran bayi.yang lancer dan selamat.  Maka tidak lama kemudian, hari itu juga, keluarga si bayi menyatakan syukur kepada Sang Pencipta dengan mengadakan brokohan.

Makanan Brokohan
Dalam Kitab Primbon hanya dituliskan: “Selamatan brokohan setelah bayi lahir adalah: telur mentah, sejumlah neptu hari dan pekan (pasaran) si bayi, gula merah dawet (cendol) dan nasi yang diletakkan di atas nyiru dengan lauk daging jerohan dan mata serta pecel ayam dan sayur menir. Menurut informan penulis sebenarnya ada variasi-variasi berdasarkan tempat dalam soal makanan yang disiapkan. Telur mentah diganti  telur goreng. Saat kelahiran, pagi, siang sore, malam, hari sapta wara dan pancawara, misalnya sabtu legi jam 06.00 tanggal bulan tahun Masehi dan Tahun Jawa perlu dicatat. Gula merah dan cendol boleh diganti dengan minuman lain. Sedangkan nasi dan lauk dapat dibuat bervariasi sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga.
Hidangan brokohan menurut informan adalah nasi ambeng  yakni nasi putih dibentuk dengan waskon (bukan seperti tumpeng) ditaruh dengan alas daun pisang pada tempat datar seperti tampah, nampan, tambir, nyiru, dsb. Lauknya berupa sambal goreng tempe, kacang panjang yang dipotong-potong,  krecek/rambak, tempe goreng, thontho, yakni lauk yang terbuat dari tepung beras dan kelapa muda yang diparut di bumbui brambang bawang tumbar dilumatkan dibentuk butiran-butiran sebesar kelereng yang digoreng, ditambah dengan rempeyek kacang, rempeyek kedelai putih ikan asin, krupuk merah, telur dadar.

Orang yang hadir dalam acara brokohan
Orang tahu bahwa soal kehamilan dan kelahiran pertama-tama adalah persoalan kaum ibu. Maka yang menyiapkan dan yang hadir di situ terutama adalah kaum ibu. Di sini tidak dipakai istilah bancakan yang dialamatkan bagi anak-anak dan orang dewasa seperti pada sepasaran (satu pekan) atau selapanan atau 35 hari sesudah kelahiran. Pada acara makan brokohan ini biasa diadakan doa yang dipimpin oleh dukun atau seorang ibu tetangga keluarga. Kemudian nasi dan lauk itu dibagi-bagi ditaruh dalam bungkus daun untuk dibawa pulang ibu-ibu  yang hadir.
 Pada malam harinya kaum laki-laki datang bertandang ke rumah memberi salam kepada ayah si bayi. Mereka duduk santai di tikar sambil minum dan makan snack atau kudapan yang disediakan. Nama bayi sebenarnya sudah tersedia hanya belum diumumkan. Nama itu diperoleh berdasarkan pedoman penamaan yang sudah lazim dipakai orang di masarakat. Setelah itu pada acara sepasaran nama bayi yang dipilih dengan  makna dan harapan yang baik diumumkan kepada keluarga dan para tetangga.

Tembang Dhandhanggula
Tembang dhandhanggula sudah banyak dikenal orang, Daripada hanya sekedar bercanda ria, orang dapat membawakan tembang pada saat tetangga bertemu dan berjaga di rumah keluarga bayi. Orang boleh membawakan tembang  dengan berbagai gaya. Kita pun dapat menciptakan tembang itu sendiri. Diberikan contoh di sini sebuah dhandhanggula dari penulis:sebagai pembuka pertemuan malam sehabis kelahiran bayi.

Dhandhanggula Purwaning Atur
Purwaning atur panyuwun mami,
Awit Gusti wus  paring nugraha
Putra jalu (westri) ciniptakke
Lumantar rama-ibu
Sampun lahir lancar lestari
Kulawarga sung  sedya
Atur puji syukur
Nyuwun berkah lan pandonga
Dhateng Gusti saha para rawuh sami
Mrih wilujeng ing  gesang

Tembang di atas dapat diterangkan demikian sebagai pembuka acara paska kelahiran anak kami. Tuhan Allah telah memberikan anugerah-Nya, anak Laki-laki (perempuan) kepada kami. Sudah lahir dengan selamat. Baik bayi dan ibu sehat. Keluwarga ingin mengucapkan puji syukur. Mohon berkah Tuhan dan doa  kepada para tamu sekalian, semoga selamat dan sejahtera dalam kehidupan.

Berikut ini adalah dhandhanggula oleh KPH Cakraningrat. Dengan keterangan dari penulis.

Dhandhanggula
(1)
Ana kidung akadang premati,
Among tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane
Kakang kawah puniku
Kang rumeksa ing awak mami
Anekakaken sedya
Pan kuwasanipun
Adi ari-ari ika
Kang mayungi ing laku kuwasaneki
Anggenakken  pangarah

(2)
Ponang getih ing rahina wengi
Angrowangi Allah kang kuwasa
Andadekaken kersane
Puser kuwasanipun
Nguyu-uyu sembawa mami
Nuruti ing panedha,
Kuwasanireki
Jangkep kadangipun papat
Kalimane pancer wus dadi sawiji
Nunggal sawujudingwang

(3)
Yeku kadangingsun kang umijil
Saking margatna sareng samya
Sadina awor enggone
Sekawan kadangingsun
Ingkang ora umijil saking
Margatna punika
Kumpule lan ingsun
Dadya makdumsarpin sira
Wewayangan ing dad  reke dadya kanti
Saparan dhatan pisah

Oleh KPH Cakraningrat


Uraian
(1)
Adalah tembang tentang saudara yang harus dipelihara dengan baik, hanya  tumbuh hidup dalam kekuatanya,  mengadakan apa yang dikehendaki. Saudara tua kawah (air yang keluar sebelum anak lahir), yang memelihara di badan kita, mendatangkan kehendak., Adapun ari-ari adalah  saudara muda (adik) yang melindungi dalam laku kelahiran  ini, sebagai pengarah

(2)
Anak darah di siang dan malam,
menemani kerja Allah yang berkuasa, menjadikan kehendaknya,
Puser yang punya kuasa
melaraskan perasaanku,
memenuhi permintaan menurut  kuasanya ini, lengkap dengan saudaranya empat,  yang kelima penjuru sudah menjadi satu, menyatu dalam diri pribadi.

(3)
Ya itulah saudaraku yang keluar
dari dalam rahim bersama-sama,
sehari berkumpul  campur  tempatnya
empat saudaraku
yang tidak keluar dari rahim itu. bertemunya dengan  diriku
Jadilah  dia makdumsarpin
Bayangan dalam  zat ini menjadi pegangan,
kemana saja tidak berpisah.


Barangkali oleh karena berbagai kesibukan dan individualisme dalam kehidupan masyarakat modern yang semakin kuat, pertemuan malam seperti yang dulu terjadi di masyarakat pedesaan, sekarang tidak terjadi terutama di kota-kota. Namun kalau memungkinkan brokohan ini pun tetap baik juga untuk dilakukan yang disesuaikan dengan keadaan setenpat.

Solo Baru, 5 Mei 2015



0 comments:

Posting Komentar